Minggu, 26 April 2015

SEAJARAH DESA DUKUPUNTANG - CIREBON

SEJARAH DESA DUKUPUNTANG
KECAMATAN DUKUPUNTANG
KABUPATEN CIREBON
JAWA BARAT


A. LETAK DESA DUKUPUNTANG
Nama Kelurahan/Desa
Dukupuntang
Kode Wilayah Kelurahan
32.09.16.2013
Nama Kecamatan
Dukupuntang
Nama Kabupaten
Cirebon
Propinsi
Jawa Barat
Kecamatan Dukupuntang (Kode pos 45652) merupakan satu dari 40 kecamatan di Kabupaten Cirebon, yang merupakan pintu gerbang Kabupaten Cirebon dari arah utara. wilayah Kecamatan Dukupuntang secara geografis memilki posisi yang strategis yaitu terletak pada 108º 08´ 38 – 108º 24´ 02BT dan 7º 10´ – 7º 26´ 32 LS dibagian utara wilayah Kabupaten Cirebon, dan merupakan pintu masuk dari arah Bandung-Jakarta. kedudukan dan jarak dari ibu kota propinsi Jawa Barat, Bandung ± 105 Km melalui Tol Palimanan Kanci dengan luas wilayah ± 2.788 Ha terdiri dari tanah darat ± 2.286 Ha, Tanah Sawah ± 502 Ha,l etak ketinggian dari permukaan laut ± 2000m. Kecamatan Dukupuntang secara struktual membawahi 13 (Tiga Belas) Desa/Kelurahan yaitu:

1. Kelurahan/Desa Sindangjawa                     : E. Kasturi
2. Kelurahan/Desa Kepunduan                       : Nunung Nuraeni, S.Psi
3. Kelurahan/Desa Girinata                             : Sunarasa
4. Kelurahan/Desa Cipanas                             : Pandi
5. Kelurahan/Desa Kedongdong Kidul          : H. Wihartati
6. Kelurahan/Desa Bobos                               : Arga
7. Kelurahan/Desa Cikalahang                        : Ibnu Rudianto
8. Kelurahan/Desa Mandala                            : Rodiah Mahdar Araf
9. Kelurahan/Desa Dukupuntang                    : H. Eno Sutrisno
10. Kelurahan/Desa Balad                              : H. Yoyo Subagyo
11. Kelurahan/Desa Cangkoak                       : Wasta
12. Kelurahan/Desa Cisaat                              : Sudana
13. Kelurahan/Desa Sindangmekar                 : Drs. Misja Sunaryo



Data Kependudukan
DATA KEPENDUDUKAN
Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kelamin
Jumlah Laki-Laki
Jumlah Perempuan
1
30.698
29.658





B. Asal Usul Desa Dukupuntang
Pada waktu terjadi peperangan antara Mbah Kuwu Cirebon dengan Ratu Rajagaluh, pasukan Mbah Kuwu Cirebon dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membentang ke jurusan selatan dengan maksud untuk mencegat datangnya musuh dari Rajagaluh, dan kelompok kedua ke jurusan barat untuk membuat benteng pertahanan/penghalang datangnya musuh lewat Bobos. Pendukuhan bekas pembentangan tersebut dinamakan Puntang.
Di negeri seberang, Sultan Bagdad mempunyai empat orang anak yaitu Syarif Durakhman, Syarif Durkhim, Syarif Kaffi, dan Nyi Syarif bagdad. Mereka mempunyai alat kesenian berupa gembyung (terbang) namun ayahnya melarang membunyikannya, bahkan apabila dibunyikan ayahnya terus menerus memarahi mereka. Oleh karena tidak tahan dimarahi ayahnya, bersama pengikutnya keempatnya melarikan diri menuju daerah Cirebon. Pengikutnya itu terdiri dari laki-laki dan perempuan sekitar 1.200 orang ditempatkan di puntang.
Di antara pengikutnya tedapat dua orang yang sangat dikenal, yaitu Tuan Keli pesuruh dari bagdad, dan pangeran Ardi Kersa yang ditugaskan oleh Mbah Kuwu Cirebon sebagai penasihat Syarif Kaffi (Sayid Alwi) di patuanan. Dalam menjalankan tugasnya Pangeran Ardi Kersa ditemani oleh dua orang sesepuh Patuanan yaitu Ki Bakila dan Ki Rakila. Setelah Syarif Kaffi wafat, ia dimakamkan di Patuanan. Oleh karena dianggap meninggalkan karomah, sekarang terbukti adanya pasarean. Kampung Kramat sebelum penggabungan desa berada di Desa Dukumalang.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar 1912, Bupati Cirebon memutuskan untuk mengbagungkan Desa Puntang dan Desa Dukumalang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan masing-masing diberikan pensiun berupa sawah seluas ½ bau atau 0,175 ha.
Hasil penggabungan antara Desa Puntang dengan Desa Dukumalang dinamakanDesa Dukupuntang“Duku” diambil dari nama depan dukumalang dan “puntang”dari Desa Puntang. Hasil pemilihan kuwu pertama terpilih Kuwu Sabda yang menjabat hingga akhir tahun 1947.
Pada tahun 1966 musyawarah untuk masyarakat memutuskan untuk mengganti nama Desa Dukupuntang dengan Desa Kramat, dengan alasan nama Kramat lebih terkenal dibandingkan nama Dukupuntang. Namun karena terbentur pembiayaan, usulan penggantian nama tidak sempat diajukan kepada Menteri Dalam Negeri.
Nama-nama Kuwu/Kepala Desa Dukupuntang di antaranya :
  1. Kuwu Sabda : 1917 – 1947
  2. Kuwu Madi : 1948 – 1963
  3. Kuwu Hudori : 1963 – 1966
  4. Kuwu Abdullah Iroqie TM : 1966 – 1982
  5. Kuwu Madsari (Pjs) : 1982 – 1984
  6. Kuwu Abdullah Iroqie TM : 1984 – 1986
  7. Kuwu H. Masrurin : 1986 – 1994
  8. Kuwu Samhari (Pjs) : 1994 – 1995
  9. Kuwu Masrurin : 1995 – 2003
  10. Kuwu Arya Sucipto : 2003 – 2005
  11. Kuwu Samhari (Pjs) : 2005 – 2011
  12. Kuwu H. Eno Sutrisno : 2011 – Sekarang
Situs-situs tempat bersejarah di Desa Dukupuntang :
  1. Makbaroh Syarif Kaffi (Sayid Alwi bin Umar Al-Bafaqih) dan Sesepuh Dukupuntang (Ki Bakila dan Ki Rakila) di Makam Panggonan Blok Kramat
  2. Masjid Abang/Merah di Blok Dukumalang.

C. Peninggalan Sejarah

Masjid Merah Dukupuntang
Dari segi arsitektur cukup jelas bahwa Masjid Merah ini merupakan bangunan lawas yang tetap berdiri kokoh, tempat ibadah yang berada di Desa Dukupuntang, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon ini konon dibangun sekitar tahun 1500-an dan hingga 1986 masih di pergunakan untuk ibadah solat Jumat sebelum dibangun Masjid Annur yang lokasinya tidak jauh dari Masjid Merah tersebut.


dimasjid ini pada saat adzan dikumandangkan waktu solat jumatdilakukan oleh empat orang secara bersamaan. walau usianya yang sudah cukup lama Masjid merah ini berdiri kokoh seperti dituturkan oleh aparat Desa Dukupuntang sejak dibangun tidakpernah dilakukan renovasi kecil dan sama sekali tidak merubah bentuk aslinya.
saat ditanya perihal nama Masjid aparat Desa tersebut mengatakan bahwa asal usuk nama Masjid memang tidak diketahui warga Dukupuntang tetap menyebutnya dengan Masjid Merah karena warna tembok masjid ini metah dan hingga sekarangpun masjid merah ini masih dipergunakan sebagai mushallah untuk beribadah setiap hari.

D. KEGIATAN KEAGAMAAN
·  Dalam seminggu sekali ada kegiatan keagamaan di setiap rumah dengan mendatangkan para ustad untuk menjadi penceramah sebagai peneerangan kegiatan ini dikhususkan untuk ibu-ibu.
·         Setiap sore anak anak mengikuti kegiatan belajar ngaji yang dipmpin oleh ustad Ahmad Munadi dan istrinya untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama.
·         Setiap hari besar isram dimasjid selalu ramai memperingati peringatan-peringatan hari besar.

E. BUDAYA KESENIAN

·         Kosidah remaja, Karate, Pencak Silat, Nasyid, dll.

F. KEBUDAYAAN
1. Acara Nikahan
·         Siraman yaitu kegiatan yang dilakukan sehari-hari sebelum akad nikah calon pengantin dimandikan dengan air kembang tujuh rupa
·         Sawer penganting yang dilasanakan setelah selesai akad nikah
·         Bakar kemenyan, sebagian masyarakat masih sering membakar kemenyan saat ada acara-acara pernikahan, khitanan, dll.
2. Acara Tujuh Bulanan
·         Rujakan yang membuat rujak dengan tujuh macam buah yang berbeda lalu dibagikan untuk tetangga.

G.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBAHAN DESA DUKUPUNTANG

1.      Faktor Teknologi
Sekarang teknologi sangat berpengaruh sekali terhadap kebudayaan Desa Dukupuntang karena dengan adanya kemajuan teknologi yang masuk ke desa ini kebanyakan masyarakat sudah melupakan kebudayaan nene moyang dan dari segi pakaian masyarakat sudah meniru cara berpakaian seerti yang selalu mereka lihat di acara  TV.
2.      Faktor Pendidikan
Sekarang pendidikan sudah sedik demi sedikit berkembang didesa ini dulu kebanyakan anak-anak sekolah hanya sampai SD sekarang sudah berkembang beberapa masyarakat telah berfikir akan pentingnya pendidikan untuk anak mereka.

ASAL USUL DESA SINDANG JAWA - CIREBON


Berawal sekitar abad 16 masehi, seorang Resi yang bernama Pandunata mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Indang Larasakti,  mendirikan sebuah pedukuhan disebelah utara kaki gunung Ciremai yang diberi nama Padukuhan Banjarmelati. Kata “Banjar” yang berarti pekarangan dan “Melati” berarti bunga putih yang harum baunya. Jadi Banjarmelati artinya sebuah pekarangan atau pemukiman yang bersih dan menyenangkan. Padukuhan Banjarmelati berada dibawah kekuasaan kerajaan galuh (kawali) yang berafiliasi dengan pakuan pajajaran.
Resi Pandunata kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putrinya yang bernama Nyi Mas Indang Larasakti, pada masa kekuasaan Nyi Mas Indang Larasakti, padukuhan Banjarmelati kedatangan utusan dari Kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Ki Sura yang membawa perintah untuk menyebarkan agama islam. Hal ini sudah diprediksi oleh Resi Pandunata dan menyarankan kepada Nyi Mas Indang Larasakti agar nantinya dapat menerima dengan baik atas kedatangan utusan dari Kesultanan Cirebon.
Dengan kedatangan Ki Sura dan pasukannya dipadukuhan Banjarmelati  membawa perubahan yang amat pesat, sehingga pedukuhan atau perkampungan Banjarmelati menjadi ramai dan menyenangkan dengan suasana yang terang benderang. Karena itulah nama Banjarmelati diganti menjadi Banjarpatoman, yang berarti pekarangan atau pemukiman yang bercahaya.
Pada tahun 1629 M, pasukan tentara Sultan Agung yang dipimpin oleh Ki Padmanegara dan Suryalaga, yang mengalami kegagalan dalam melancaran serangannya terhadap VOC dalam perjalan pulangnya ke Mataram mereka singgah untuk beristirahat di Banjarpatoman, karena suasana perkampungan Banjarpatoman yang ramai dan menyenangkan sehingga mereka nyaman dan kerasan tinggal di Banjarpatoman dan sebagian besar dari mereka memutuskan untuk tetap tinggal di Banjarpatoman. Hal ini kemudian diketahui oleh Sultan Cirebon  dan menaruh perhatian besar terhadap pasukan dari Jawa ini karena menganggap mereka adalah pejuang.
Kehadiran tentara Sultan Agung di Banjarpatoman merupakan peristiwa bersejarah yang perlu dikenang. Karena itulah Sultan Cirebon  tempat ini diberi nama Sindangjawa. Kata “Sindang” yang berati singgah dan “Jawa” berasal dari orang jawa (Mataram). Jadi Sindangjawa berarti singgahnya orang-orang Jawa. Sejak itulah nama Banjarpatoman dilupakan dan orang sering menyebut dengan nama Sindangjawa.
Dalam upaya memajukan perekonomian dan pemerataan pembangunan, pada tanggal  03  Maret  1984 desa Sindangjawa dimekarkan menjadi 2 (dua) desa yaitu desa induk bernama Sindangjawa dan desa pemekaran yang berada disebelah barat diberinama Sindangmekar.
Kepemimpinan desa Sindangjawa dari masa ke masa silih berganti. Adapun nama-nama Kuwu yang pernah menjabat di Desa Sindangjawa diantaranya :
  1. Ki Gede Kasep Sabale
  2. Aris
  3. Kasran
  4. Tayiman
  5. Nata
  6. Mad
  7. Arni
  8. Braini
  9. Kasdani : periode 1887 – 1902
  10. Ibrahim : periode 1902 – 1912
  11. Ardi Singawinata : periode 1912 – 1920
  12. Sinta Kamal : periode 1922 – 1924
  13. Raksawinata : periode 1924 – 1956
  14. Masduri : periode 1956 – 1980
  15. Kasim : periode 1981 – 1990
  16. Kaer : periode 1990 – 1998
  17. Suma S. Mukarab : periode 2001 – 2011
  18. H.E. Kasturi : Periode 2011 – sekarang
Dan pada saat ini desa Sindangjawa dipimpin oleh saya sendiri E. Kasturi dari hasil pemilihan 13 Nopember 2011 dan dikukuhkan dengan SK Bupati No. 141.1/Kep.608-BPMPD/2011 tanggal 25 Nopember 2011 dan dibantu oleh 9 orang perangkat desa yaitu :
Unsur Sekretariat :
Suharto
Tuniah
Deni Iskandar
:  Staf Umum
:  Staf Keuangan
:  Staf
Unsur Teknis :
Didi Jayadi
Nana Mulyana
Aan Hidayat
Didi Herwandi
:  Kaur Pemerintahan
:  Kaur Ekonomi dan Pembangunan
:  Kaur Kesejahteraan Rakyat
:  Kaur Ketentram dan Ketertiban
Unsur Kewilayahan :
Mastur
Endang Subandi
:  Kepala Dusun I
:  Kepala Dusun II

ASAL USUL DESA CISAAT - CIREBON


Pada abad XIV daerah ini bernama Tresna yang merupakan pintu keluar masuknya para ki gedeng seperti Ki Gedeng Palimanan dan Ki Gedeng Pasawahan yang hendak berburu rusa dan menikmati pemandangan pegunungan. Oleh karena daerahnya sering dilewati pemburu, Ki Buyut Tresna dikenal dengan nama Ki Paderesan.
            Ki Gedeng Pasawahan alias Ki Makeru di samping senang berburu, ia kerap kali memusuhi Mbah Kuwu Sangkan di mana keduanya sama kuat, baik ketika bertempur di atas gunung maupun bertarung di atas air. Ki Makeru tidak segan-segan melakukan tipu daya dengan cara yang licik, dan secara tiba-tiba memukul dari belakang, sehingga Mbah Kuwu dengan ketinggian ilmunya semula terkesan tidak sungguh-sungguh melayani setiap pertarungan.
            Ki Makeru terkenal sakti mandraguna. Ia memiliki berbagai ilmu hitam seperti ilmu meringankan tubuh, masuk lubang kecil, ilmu mencala putra mencala putri untuk menipu jalasutra, sehingga ia selalu menginginkan pertarungan dilakukan di atas gunung atau di atas air. Mbah Kuwu akhirnya meladeni setiap keinginan Kimakeru, dimana dengan kepandaian ilmunya beliau mengetahui kelemahan musuhnya, apalagi pengikut Kimakeru sebagian besar telah ditundukannya. Segala cara yang di tempuk Ki Makeru dengan mudah dipatahkan beliau. Meskipun bukan tandingan Mbah Kuwu, Ki Makeru tetap tidak mau tunduk bahkan oleh kerena merasa dipermalukan ia menghilang, tidak mau masuk agam islam.
            Setelah melakukan pertempuran, Mbah kuwu bermaksud meninggalkan Pasawahan untuk beristirahat sambil menikmati air pohon enau (lahang) kesukaannya di Panderesan. Sangat disayangkan air lahang kesayangannya tidak tersedia sehingga Mbah Kuwu kecewa dan berkata kepada Ki Panderesan, apabila hendak menyadap aren bacakan syahadat tiga kali.
            Sekembalinya Mbah Kuwu ke cirebon, Ki Panderesan segera membuat lodong dari bambu untuk menyadap aren. Sebagaimana dipesankan Mbah Kuwu, Ketika akan memasang lodong Ki Panderean tidak lupa membaca syahadat tiga kali. Sungguh ajaib ketika lodong diturunkan esok harinya, ternyata lodong itu tidak berisi air lahang melainkan mas dan intan.
            Ki Panderesan sangat gembira dan berbahagia. Ia bernadar ingin makan bersama Mbah Kuwu serta pengikutnya yang akan singgah kembali di Panderesan. Untuk menghormati tamunya itu, Ki Panderesan menyediakan berbagai hidangan, hingga tanpa disadari ayam yang sedang mengerampun ia potong. Ketika Mbah Kuwu menikmati hidangan itu, beliau tersenyum dengan hati yang tak tega oleh karena panggang ayam yang dihidangkan itu berasal dari induk ayam yang sedang mengeram. Tak lama kemudian panggang ayam itu berubah, hidup kembali seperti semula.
            Ketika akan kembali ke Cirebon, Mbah Kuwu mengajak Ki Panderesan pergi ke Cirebon. Ketika ditanyakan kepada Mbah Kuwu apakah hewan-hewan peliharaan seperti ayam, bebek, kambing dan lainnya perlu dibawa ke Cierbon? Mbah Kuwu Sangkan Mengatakan tidak perlu. “Lihat saja nanti apa yang akan terjadi”, pintanya. Dan tak lama kemudian semua hewan berubah menjadi ular. Oleh karena itu, daerah ini terkenal dengan ular-ularnya yang besar. Dalam perjalanan ke Cirebon, Pusaka cis milik Mbah Kuwu terjatuh ke sungai. Parapengikut Mbah Kuwu segera menambak sungai dengan pasir atau keusik. Setelah itu airnya ditimba atau di parak berammai-ramai hingga kering atau saat, akan tetapi yang ditemukan hanya kerangkanya saja. Sungai tempat terjatuhnya cis Mbah Kuwu itu dikenal dengan nama Parakan Keusik, dan daerah sekitarnya di sebutCisaat hingga sekarang.
Ki Buyut Cisaat yang diketahui di antaranya:


1.     Kasep Sabale.
2.     Narum.
3.     Mangku Jaya.
4.     Mangku Raga.
5.     Sela merta.
6.     Tuan.
7.     Irodat.
8.     Merta Gati.
9.     Nursimah.
10.                        Udin.
11.                        Surangga Bima.
12.                        Pabunan.
13.                        Nampa.
14.                        Sarif.
15.                        Kembar.
16.                        Kesem.
17.                        Katijem.
18.                        Lulut.
19.                        Leuleut.
20.                        Kenanga.
21.                        Kenangi.


Kuwu Cisaat:
1.     Sukini            : 1987 - 1992
2.     Supadi, SH    : 1992 - 1997
3.     Drs.Suradi     : 1997 - 2002
4.     Sudana          : 2002 – sekarang

ASAL USUL DESA WARU KAWUNG - CIREBON

Zaman dahulu Desa Warukawung yang babak yasa ialah Embah Sangkan Kuwu Cirebon. Konon kabarnya beliau tidak mau disebut namanya, tetapi cukup disebut Ki Gede Penderesan saja. Tujuan semula pokoknya beliau bermaksud menyebarkan Agama Islam di pelosok dusun, yang kini tapak petilasannya disebut Ki Buyut Cabuk.

Sebenarnya bukan Cabuk tetapi Cisabuk, karena beliau semenjak pindah tempat dari pemukimannya, sabuknya beliau ditinggalkan yakni dekat sungai Cisabuk, adalah tempat pesiaran peribadatan. Tetapi beliau bukan mengembangkan ajaran Agama Islam saja, disamping itu pula beliau berwiraswasta membuat gula aren(enau) dari pohon kawung. Memang ditempat itu banyak pohon Kawung dan Waru yang tumbuh dengan suburnya, maka tepatlah perkampungan itu disebut Desa Warukawung.
Pohon waru terkenal sekali dibutuhkan keperluan pertanian atau keperluan perumahan. Lulub waru perlu sekali untuk pemijang, yakni tali pengikat gedengan padi, begitu pula penting sekali pada masa itu lulub/waru keperluannya untuk tali welit guna atap rumah atau saung-saung sawah ladang petani.
Sehari-hari beliau selalu menghadapi kesibukan kerja, waktu magrib, isya dan subuh acara peribadatan di bidang rohani Agama Islam, sedangkan siangnya kalau bukan menderes pohon enau, mengambil nira (lahang), tentunya mencetak gula aren.
Sawah ladang pun harus pula diurus sebaik mungkin, padinya, palawija, sayur mayurnya dan yang terkenal tanaman waluhnya. Begitulah beliau kerjakan dengan para santri dan Murid pengikutnya.
Kemudian lama kelamaan setelah berhasil yang dicapai, cita-cita, tujuan pokoknya adalah penyebaran Agama Islam, beliau meneruskan perjalanannya ke tempat lain; maka tugas pengamatan diserahkan kepada kepercayaannya ialah Kiyai Murid yang kemudian turun temurun yang ada di Blok Benda.
Tapak tilas yang lain adalah di makam Sampir, disitulah ada pakaian untuk bekerja di sawah-ladang yang disampirkan ditempat saungnya, yaitu di persawahan yang pada masa ini ada diwewengkon Desa Sindang Jawa Blok Sawah/ Amba.
Sahdan pada zaman penjajahan Belanda tahun 1918 seorang Wedana di Plumbon yang terkenal disebut Wedana Blendang, sebab perutnya besar, ia ditugaskan untuk menggabung-gabungkan desa-desa yang dianggap terlalu sempit, maka terjadiDesa Warukawung yang dipimpin mendiang Kuwu Arpat dapat tergabung denganDesa Royom yang dipimpin oleh mendiang Kuwu Arsa.
Dan kelanjutannya diadakan pilihan kuwu, yang mendapat suara terbanyak ialah mendiang Kuwu Sutara. Ia adalah seorang kuwu yang masih remaja lagi tampan, dan kebiasaan ia disebutnya Kuwu Cilik. Maka terjadilah dua desa gabungan tadi menjadi satu dengan diberi nama Desa Waruroyom.
Tetapi malang baginya baru setahun menjadi kuwu, ia terkena kasus, sehingga atas keputusan sidang Pengadilan Negeri mendapat vonis hukum kurungan satu tahun lamanya. Lebih luas lagi sekedar catatan dari masa ke masa jabatan kuwu sebagai gambaran terlampir ini. Sejak itu yang sangat menonjol sekali antara pemimipin dengan rakyat selalu perpecahan, karena politik devide et impera dari pihak kolonial Belanda sehingga lupa daratan kepada bangsanya, apalagi untuk membangun dan kemajuannya.
Setelah terbentuknya Desa Waruroyom dari mulai tahun 12918 pernah mengalami rupa-rupa perubahan zaman, zaman Belanda diwaktu normal dan pada tahun 1935 waktu Malaise (failit), pada tahun 1942-1945 zaman Dai Nippon Jepang yang pada umumnya rakyat mengalami rupa-rupa penderitaan, penyakit busung lapar, orang berpakaian karung goni, jenazah dibungkus dengan tikar, disana-sini ribut-ribut pakaian manusia dirubung kutu.
Mulai tanggal 17 Agustus 1945 baru ada titik-titik terang, setelah ada Proklamasi Kemerdekaan, meskipun banyak gangguan kekacauan, gerakan DI/TII yang terkenal pagar betis, gerakan PKI yang terkenal pengkikisan G.30.S-nya, Revolusi, aksi Polisionil Belanda dan lain-lain sebagainya. Tetapi bangsa yang telah merdeka lama kelamaan ada perubahan yang sangat menguntungkan khususnya bagi masa depan generasi muda. Akan tetapi mengingat Desa Waruroyom sampailah pada tahun 1985 perkembangan penduduk sangat menonjol, maka terjadilah pemekaran desa yaitu pada tanggal 1 Januari 1985 hari Jum’at Kliwon diumumkan oleh TRIPIDA Kecamatan Plumbon, maka Desa Waruroyom menjadi 2 desa.
Bagian Waruroyom yang utara, nama desa untuk kenag-kenangan ditetapkan menjadi Desa Waruroyom, mengingat pula bagi kenang-kenangan Desa Royom pernah menjadi desa yang tergabung. Sedangkan kepala Desa dilakukan oleh seorang pejabat ialah Sdr. Wartama. Adapun Waruroyom yang bagian selatan, untuk perubahan baru namanya menjadi Desa Warukawung, karena Desa Warukawung adalah Desa ciptaan Ki Kuwu Cirebon yakni Embah Sangkan, adalah seorang Waliullah penyebar Agama Islam di Cirebon.
Letak geografisnya Warukawung sangat penting, di jaman revolusi fisik dianggap daerah konsolidasi (menegakkan kemerdekaan) oleh pejuang tentara RI, bahkan para pejuang pasukan Bede pernah markasnya di Blok Benda, sehingga Belanda acap mengadakan aksi penggerebegannya, tetapi mereka tak pernah berhasil karena berkat kekompakan rakyat dengan para pejuang.
Warukawung kaya sumber airnya, yang terbesar adalah Tuk Bual. Pernah DPD Tingkat II Cirebon ada rencana akan dibangun tempat rekreasi yakni pada tahun 1957, tapi gagal entah apa sebab-sebabnya, Sumur Jaran, Sumur-Serut, dan beberapa Pancuran Rita, Pancuran Gede, Pancuran Gondang, Pancuran Kroya, Pancuran Dasia walaupun kemarau panjang tak pernah kunjung kering.
Mata pencaharian penduduk tercatat, pertanian 60%, pertukangan 25%, dagang perantaun 10%, sedangkan buruh tani hanya 5%, sungguh tenaga buruh kurang sekali, maka bila musimnya penggarapan sawah terpaksa tenaganya harus di drop dari luar desa umumnya dari Desa Pekidulan ( selatan).
Di sekitar perkamopungan Desa Warukawung tanamannya subur, terutama durian yang mengandung banyak kalori, petai, nangka dan mangga, tetapi tanamannya kemiri dan picung kini semakin langka. Sejak dulu tahun 1934 di Warukawung tanaman/ buah-buahan serba ada, sehingga seorang petugas Lanbo Konsulen jaman kolonial, menganggap bahwa Warukawung adalah gemah ripah loh jinawi. Kegemaran para petani dulu adalah menanam padi loyor yang berasnya merah tetapi pulen, maka orang Warukawung tubunya tegap-tegap karena mengutamakan makanan yang mengandung banyak vitamin dan protein nabati dari daun lembayung.
Batas Desa yang penting di jaman dulu adalah :
Sebelum utara ini merupakan jalan yang paling sibuk untuk lalu lalang dan menuju ke kota Kesultanan Cirebon, bila menjelang bulan Maulud orang-orang pergi ke Cirebon merupakan kebiasaan tradisi dari nenek moyang. Begitu pula para perangkat desa bila pergi rapat-rapat mereka menunggang kuda, sedangakn Narpraja pun melakukan tugas kepentingan di desa wewengkonnya.
Kata Sahibul Hikayat jalan itu  pernah jadi arena pertempuran antara pasukan Galuh lawan Cirebon, sebagai bukti bekas – bekasnya dianggap keramat oleh penduduk ialah kuburan Ki Penggung, kuburan Ki Sulun (Siulun) dan kelangsungannya di ceritakan alat peperangan di kubur. Kenyataannya banyak orang yang menemukan keris atau batu-fosil seperti kampak disekitar makam Ki Penggung.
            Jurusan batas ini dari mulai barat Blok Mantri menuju Kedemangan dan Ki Penggung, dapat dipastikan bahwa blok ini bekas tempat para Narapraja, yakni Mantri, Demang (Wedana) dan Tumenggung.
Nama – nama Kepala Desa Warukawung yang diketahui :
1.      Madam                                        : 1865 – 1901
2.      Rodja                                           : 1901 – 1901 (9 bulan)
3.      Basi Sutaradjaja                           : 1901 – 1906
4.      Budi Wangsa Didjaya                   : 1906 – 1913
5.      Arpat Wangsa Didjaya                 : 1913 – 1918
6.      Sutara                                          : 1918 – 1919
7.      Raji                                              : 1919 – 1931
8.      Suwela Wiriadireja                       : 1931 – 1939
9.      Sentana Atmaja                            : 1939 – 1950
10.  Arpat Wansapraja                        : 1950 – 1956
11.  Djunaedi                                      : 1956 – 1967
12.  Suparma                                      : 1967 – (satu minggu diberhentikan)
13.  Abu Bakar Sidik                          : 1967 – 1989
14.  Sanipan                                        : 1989 – 2001
15.  Dirmawan                                     : 2001 – 2011
16. Warta                                      : 2012 - sampai sekarang

ASAL USUL DESA KALIWULU - CIREBON


 Kota Cirebon sebagai bandar perdagangan sejak berabad-abad yang lalu menyimpan banyak situs purbakala bernuansa Islam. Tak heran Cirebon dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Barat selain kota perdagangan.

Situs Islam yang paling terkenal tentunya Keraton Cirebon dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Namun selain itu, sejumlah situs Islam lainnya juga bertebaran di sana. Salah satunya adalah Mesjid Kaliwulu.

Baru dengar namanya? Memang masjid ini tidak setenar masjid di atas. Tapi dari sisi purbakala, Masjid Kaliwulu punya sejarah yang menarik. Masjid ini terletak di Desa Kaliwulu, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.

"Masjid Kaliwulu punya legenda yang berkaitan erat dengan Sunan Gunung Jati," kata arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Bayu Aryanto, pada Republika, Ahad.

Legenda itu berawal dari perjalanan Sunan gunung Jati dari Cirebon menuju Galuh. Dalam perjalanan tersebut, Sunan Gunung Jati berhenti untuk shalat di satu tempat. Ia meminta pengiringnya mencari tempat berwudhu.

Tidak jauh dari tempat tersebut didapatkan sungai. Inilah asal muasal nama Kaliwulu yaitu berasal dari kata kali yang berarti sungai dan kata wulu yang merupakan perubahan lafal dari wudhu.

Dari persinggahan singkat Sunan Gunung Jati itulah kemudian berdiri dan berkembang desa Kaliwulu. Kepala desa pertamanya adalah Ki Gede Kaliwulu yang kini makamnya berada di halaman mesjid.

Ki Gede Kaliwulu memiliki nama asli Syeh Syarif Abdurahman. Dia merupakan anak dari Pangeran Panjunan yang juga masih keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan adanya Desa Kaliwulu, maka didirikan pula sebuah mesjid. Masih menurut legendanya, Masjid Kaliwulu pada awalnya didirikan di Silintang, tetapi kemudian berpindah secara gaib ke tempatnya saat ini.

"Kapan Mesjid Kaliwulu berdiri tidak dapat diketahui dengan pasti," kata Bayu. Untuk menentukan waktu pembangunan masjid, arkeolog menganalisis inskripsi di bagian atas pintu masuk ruang utama masjid.

Tulisan di situ hanya menyebutkan perbaikan yang pernah dilakukan di Masjid Kaliwulu yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Pinata ing pintu andangdani ing masjid akhir wayah dina rabo wulan rajab tanggal rong puluh ing tahun alif hijrah nabi sewu rong atus pitulikur 
Menurut Bayu, bila diterjemahkan kurang lebih berbunyi: Ditatah di pintu mesjid yang berakhir diperbaiki pada hari rabu bulan rajab tanggal dua puluh tahun alif seribu dua ratus dua puluh tujuh hijrah nabi.

Perhitungan terhadap tahun 1227 H bersamaan dengan tahun Masehi yang jatuh ± pada tahun 1826 M. Melihat pada bunyi inskripsinya, mesjid ini sudah berdiri lebih tua dari pada tahun yang disebut pada inskripsinya.

Mesjid Kaliwulu bercirikan masjid tradisional di Jawa. Maksudnya, masjid ini berdenah bujur sangkar, beratap tumpang satu, dan punya empat tiang utama, serta ada hiasan di puncak atapnya (memolo) serta adanya makam
dari tokoh setempat yang dimakamkan di halaman mesjid.

Untuk masuk ke halaman mesjid terdapat pintu di sisi barat dan timur dengan bentuk gapura paduraksa dan terbuat dari kayu. Setelah melewati pintu ini akan didapatkan halaman pertama sisi utara dengan sebuah pendopo baru untuk istirahat dan shalat jum'at.

Ciri kekunaan masih tersisa di bagian ruang utama mesjid dengan terdapatnya pintu berbentuk paduraksa untuk masuk ke dalam ruang utama. Pada dinding sisi luar dari kedua pintu tersebut banyak dihiasi dengan piring-piring keramik beragam motif dan ukuran yang direkatkan pada dinding sejumlah 97.
Pintu masjid dibuat rendah, sehingga untuk masuk harus menunduk atau membungkukkan badan. "Ini mengandung filosofi bahwa untuk masuk ke tempat suci seseorang harus merendahkan dirinya sebagai penghormatan pada Allah SWT," kata Bayu. Pada bagian atas sisi luar pintu masuk ini terdapat iskripsi beraksara arab.

Dengan bukti-bukti yang ada, baik berupa inskripi maupun konstruksi dan sedikit tata ruang yang masih dipertahankan, Mesjid kaliwulu telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Saat ini pelestariannya diawasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang.